Aktual
Tips
Buletin SAlam
 
 
> Info > Aktual > Detil
Feature Perjalanan: Ekspedisi Menantang di Heart Of Borneo
12 Agustus 2008
Awan tebal berkabut meliputi kota Pontianak saat kami melintasi kota ini dengan pesawat udara penerbangan dari Jakarta. Hari itu, 13 orang berangkat dari kota metropolitan siap menantang hutan belantara Borneo.

Total 4 orang peserta: Alexandra, Bara, Bambang dan Herry –yang kemudian tergabung menjadi Supporter WWF— bersama 4 media nasional: I-Radio, Readers’ Digest, Metro TV dan Kompas, mengikuti kegiatan Expedition into the Heart of Borneo yang diselenggarakan WWF-Indonesia untuk memperkenalkan kekayaan alam dan budaya di jantung Kalimantan kepada seluruh dunia serta menjaring dukungan masyarakat perkotaan untuk berpartisipasi melindunginya. Perjalanan petualangan ini memakan waktu lima hari empat malam (26-30 Juli 2008) menembus Taman Nasional (TN) Betung Kerihun dan TN Danau Sentarum di Kalimantan Barat.

Setelah 1 jam 10 menit, pesawat mendarat sempurna di Bandar Udara Supadio, Pontianak. Seluruh peserta terlihat masih canggung satu sama lain karena hari pertama baru dimulai. Di Bandara, kami disambut 2 mobil sewaan untuk melakukan city tour ke Museum Khatulistiwa, monumen kebanggaan kota ini yang posisinya tepat di garis khatulistiwa.

Saat di museum, tepatnya pukul 9.50, kabar buruk terdengar. Pesawat kecil (sejenis pesawat fokker)yang seharusnya menerbangkan kami dari Pontianak ke kota kecil Putussibau pada pukul 1.50, dibatalkan karena kendala teknis. Terpaksa kami menyewa satu mobil tambahan, total 3 mobil, untuk mengantar ke Putussibau. Perjalanan yang seharusnya hanya memakan waktu 2 jam dengan pesawat fokker, menjadi 18 jam dengan jalur darat! Namun, peserta tetap bersemangat dan tidur sepanjang jalan.

Hari Minggu tepat pukul 6 pagi, kami tiba di Putussibau, kota kecil yang masih kental dengan unsur budaya lokal seperti terlihat dari arsitektur bangunan pemerintahan dan rumah penduduk. Tidak menyiakan waktu, kami menuju Rumah Betang Baligundi milik Suku Dayak Taman. Rumah Betang ini panjangnya mencapai 145 m berisi 33 bilik (1 bilik berisi 2-3 kamar yang ditempati 1 kepala keluarga). Setelah diterangkan secara singkat oleh Hermas Rintik Maring, Ecotourism Field Officer WWF-Indonesia, tentang program homestay di rumah tersebut yang difasilitasi WWF, peserta naik ke Rumah Betang setinggi 2 meter. Interaksi unik terjadi antara masyarakat perkotaan dengan suku dayak. Di sini, kami rehat sekitar 2 jam sambil melemaskan kaki, mandi dan menikmati sarapan khas suku dayak: sayur daun pakis, rebung dan kue ketan dibungkus daun jagung.

Seharusnya peserta tiba di Rumah Betang di malam pertama, tetapi karena kendala pesawat, terpaksa kesempatan bermalam di rumah betang gugur. Padahal bila tiba malam sebelumnya, kami disambut tradisi unik. Suku Dayak Taman memiliki kebiasaan menyambut tamu di malam hari dengan tarian dan minuman tradisional lokal terbuat dari arak. Kebudayaan asli yang masih dipertahankan turun temurun.

Selesai rehat, peserta mengarah ke Mataso menggunakan bis sewaan selama dua jam. Jalan berbatu dihantam dengan roda bis berkecepatan tinggi membuat peserta terlonjak-lonjak, serasa naik mobil besar dengan jalur off-road. Tiba di Mataso tepatnya di kantor distrik TN Betung Kerihun, peserta menitipkan tas besar dan barang lainnya di kantor balai. Mereka hanya membawa perlengkapan seperlunya untuk bertenda semalam di tengah hutan. Hal ini sangat meringankan beban perahu kecil yang akan membawa mereka membelah sungai Embaloh.

Selama tiga jam berikutnya, peserta melawan arus sungai Embaloh dengan 4 perahu kecil untuk menuju hutan rimba di TN Betung Kerihun. Perahu sempat tersangkut di pinggir sungai yang dangkal membuat perjalanan semakin menantang. Di sore hari, akhirnya tibalah di sebuah daratan yang cukup landai di tepi sungai. Tempat ini cukup terbuka sehingga menjadi area favorit para staf lapangan untuk bertenda.

Malam itu kami tidur di tenda seluas kira-kira 10x3 meter dengan sleeping bed dan obat anti nyamuk. Di tengah hutan yang terbatas, manu makan malam ternyata tetap tersaji dengan panas dan lengkap: nasi, sayuran dan lauk pauk. Sebelum tidur, ada pengantar dari Hermayani Putra, Site Manager untuk proyek WWF di Kalimantan Barat, dan tim dari Balai TN Betung Kerihun tentang metode Recce Walk, yang biasa digunakan mereka dalam melakukan survey and monitoring populasi orangutan di daerah dengan karakter elevasi yang berbukit-bukit.

Pagi hari tepat pukul 6 rombongan sudah siap menyeberang ke sisi lain Sungai Embaloh untuk mempraktekan metode Recce Walk. Walau tidak berhasil menemukan orangutan, kami menemukan 2 sarang orangutan yang tergolong kelas 2 (sebagian sudah berubah warna menjadi coklat), artinya sudah agak lama ditinggalkan. Selepas berkeringat dan berjuang menanjaki bukit hutan yang curam selama hampir 3 jam, kami menerima tantangan melakukan floating atau body rafting di derasnya aliran Sungai Embaloh yang sedingin air kulkas. Bermodalkan jaket pelampung dan helm, kami mengapung sepanjang 2 kilometer dengan kecepatan 10km/jam menyusuri Sungai Embaloh. That was really fun and challenging! Beberapa peserta yang terapung-apung di atas air berteriak, “I love you Indonesia! You are so beautiful!

Sore hari, seluruh peserta berkemas mengejar waktu menuju TN kedua, Danau Sentarum sebelum gelap merayapi langit Kalimantan Barat. Setelah mengendarai bis selama 1 jam, kami tiba di Lanjak, lalu, pindah naik speed boat selama 1 jam untuk menuju desa Semangit, terletak di tengah TN Danau Sentarum. Di desa nelayan ini kami menginap di kapal motor atau yang dijuluki motor bandung. Motor bandung yang terapung di atas danau ini berfungsi sebagai rumah tinggal bagi masyarakat nelayan. Tujuh puluh kepala keluarga tinggal di 70 motor bandung yang membentuk 1 desa. Mereka bahkan memiliki kepada desa sendiri untuk 70 KK ini. Malam itu, kami menginap di salah satu motor bandung milik Pak Yanto, tokoh masyarakat yang bekerja erat dengan LSM lokal untuk memberdayakan potensi alam di sekitar danau untuk kesejahteraan masyarakat. Malam menjadi semakin berkesan saat kami disuguhi kuliner ikan panggang, bakso ikan dan goreng ikan asin, yang semua asli dari TNDS.

Beruntung sekali di pagi harinya, kami bisa menyaksikan tradisi nelayan Danau Sentarum setahun sekali yang dinamakan Keriyan. Dalam tradisi ini, semua penduduk berkumpul di suatu tempat di sekitar danau dan bersama-sama menangkap ikan yang terperangkap di lubuk-lubuk. Ikan hasil tangkapan dikumpulkan dan dijual yang hasil penjualannya digunakan untuk membiayai keperluan bersama warga sekitar danau. Kali ini, hasil Keriyan dipakai mendanai perayaan tujuh belasan. Ini sebuah mekanisme trust fund masyarakat yang fun!

Sebagian ikan diberikan untuk peserta ekspedisi yang kemudian dibakar di pinggir danau. Media yang terlibat memanfaatkan momen ini untuk mengambil berita visual dan mengangkat cerita unik tradisi Kriyan. Siang hari setelah menikmati makan siang di motor bandung, rombongan menggendarai 4 speed boat sampai ke Sintang. Perjalanan selama 6 jam ini melalui sungai Kapuas dan melewati Bukit Gelam setinggi 600 meter. Sesampainya di Sintang, perjalanan dilanjutkan dengan bis selama 9 jam kembali ke Pontianak.

Hari terakhir di Pontianak, mereka berkunjung ke kantor WWF untuk mengikuti review fotografi dipandu Jimmy, Communications Officer WWF proyek Kalimantan Barat. Selain beberapa foto peserta dan media direview, seluruh peserta juga mendedikasikan foto mereka yang diambil selama ekspedisi untuk WWF-Indonesia untuk membantu penyebarluasan pesan konservasi dan penjangkauan publik. Rencananya, WWF-Indonesia juga akan membuat pameran foto hasil karya peserta Expedition into the Heart of Borneo dan peserta ekowisata tahun lalu yaitu Capturing Ujung Kulon.

WWF-Indonesia mengadakan kegiatan ekowisata ke Heart Of Borneo dan Ujung Kulon serta pameran foto dengan masksud untuk memperkenalkan kekayaan alam dan budaya di wilayah konservasi kepada seluruh dunia serta menjaring dukungan masyarakat perkotaan untuk berpartisipasi melindunginya.

Expedition into the Heart Of Borneo mencatat lebih dari 3000 km perjalanan yang telah ditempuh para peserta dari Jakarta menuju Jantung Kalimantan. Jarak tersebut mencakup perjalanan dari Jakarta ke pedalaman Kalimantan Barat hingga perjalanan kembali ke ibukota dengan berbagai moda transportasi: kapal, perahu, mobil lapangan, bis dan pesawat. Secara rinci, 1,800 km dengan pesawat pulang pergi Jakarta-Pontianak; 1,200 km di darat yaitu Pontianak – Putussibau - Mataso - Lanjak; 375 km dengan perahu di sungai dan danau: Mataso - Karang Laboh, Lanjak-Semangit, berkeliling Danau Sentarum, Semangit-Sintang dan 2 km body rafting.

Informasi mengenai kegiatan WWF-Indonesia bersama Supporter WWF selengkapnya dapat dilihat di www.supporterwwf.org. ** (Nazla Mariza & Nancy Ariaini)


Baca siaran Pers



Elysabeth Yosepha - 08 Maret 2010  15:04:30

1.Foto betang baligundinya kurang banyak. 2.koreksi mengenai pembuatan kue ketan khas baligundi bukan dibungkus daun jagung, tapi dimasukkan dalam bambu.

Nama (*):

Email (*):

Komentar Anda (*):